DEMA FEBI- Sebelum kita masuk pada inti tulisan kali ini, saya ingin mendudukkan latar belakang mengapa pengalihan dari kuliah tatap muka ke virtual. Tentu kita semua tahu bahwa Covid19 adalah biang keroknya, terutama semenjak WHO menetapkannya sebagai wabah pandemi yang penyebarannya cenderung sangat cepat pada awal Maret lalu hingga sampai pada Indonesia. Di negara kita sendiri sampai saat ini pasien positif yang terjangkit kian meningkat dari hari ke hari. Selaras dengan apa yang disampaikan oleh jubir Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto dalam konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta, Rabu (15/4), yang menyebutkan bahwa saat ini pasien yang positif semakin meningkat. Sungguh penyebaran virus ini tak tanggung-tanggung bisa memporak-porandakan keberlangsungan hidup di negara kita.
Banyak langkah yang diambil dalam menangani kasus pandemi covid19 ini, dimulai dari himbauan social distancing, Rapid test, bahkan sampai wacana untuk melakukan Lockdown dan terakhir penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan laju peredaran rantai wabah ini. Lantas bagaimana dengan sektor pendidikan di Indonesia, khususnya pada Perguruan Tinggi?
Sebenarnya ada banyak tindakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah di ranah pendidikan kita, dalam hal ini Menteri Pendidikan Nadiem Makarim telah mengeluarkan surat edaran berisi 18 instruksi terkait penanggulangan Covid19 dalam lingkup sekolah pada 9 Maret lalu, lalu penerapan model belajar/kuliah dilakukan secara daring (dalam jaringan), dan sampai pada penghapusan UN tahun ini.
Merujuk pada keputusan beberapa atau bahkan hampir seluruh kampus di Indonesia yang mengeluarkan kebijakan kuliah online yang pada representatifnya sejalan dengan himbauan pemerintah untuk menekan penyebaran virus tersebut. Kuliah daring adalah langkah yang paling aman untuk saat ini digunakan dalam berlangsungnya pendidikan kita. Melihat dari penyebaran wabah yang masif dan cenderung cepat saya rasa memang suatu keputusan mutlak yang harus diambil sehingga pembelajaran tetap berjalan. Tapi, apakah pelaksanaan kuliah daring optimal? Dan bagaimana kontribusi keaktifan mahasiswa dalam model belajar dalam jaringan ini? Mari kita kupas!!
Kuliah daring menjadi alternatif yang bertujuan agar mahasiswa tetap dapat melakukan kegiatan perkuliahan meskipun tidak bertatap muka langsung dengan dosen pengampu sehingga pembelajaran tak tertinggal. Namun perlu diingat bahwa tujuan pembelajaran adalah mentransfer ilmu dari dosen ke mahasiswa sehingga mahasiswa memahami apa yang diberikan oleh dosen, yang semula tidak tahu menjadi tahu. Karena pada filosofinya adalah bagaimana si mahasiswa ini bisa paham dengan apa yang didapat lalu menerapkannya, bukan hanya pada tataran perburuan nilai yang tinggi.
Melihat dari beberapa kampus negeri maupun swasta yang telah mengeluarkan surat edaran terkait pengalihan kuliah tatap muka ke mode virtual, tapi pada implementasinya masih banyak mahasiswa yang merasakan sulitnya berkuliah lewat jaringan. Meski tak banyak juga yang senang karena mendapat jatah libur panjang dan perkuliahannya hanya dengan memegang gadget masing-masing. Tapi itu tak menjadi titik perdebatannya namun lebih pada bagaimana efektivitas kuliah ini.
Maka dari itu saya membagi dua mengenai hal ini yang ditinjau dari sisi positif maupun negatifnya.
Sisi positif
- Waktu yang lebih luang, karena perkuliahan tak terlalu formal. Bisa dilakukan sambil rebahan, nyanyi dan bahkan sambil mandi sekalipun, hehehe.
- Dari segi ekonomi, masuk pada dua tinjauan langsung. Pengeluaran cenderung lebih sedikit dibandingkan kuliah langsung. Kalkulasinya mungkin pada saat berkuliah langsung banyak pengeluaran yang terjadi dimulai dari biaya kendaraan ke kampus, makan dikantin, ngerokok, dan hal-hal lain yang diluar dugaan. Sedangkan kuliah daring cukup hp, kuota dan posisi yang nyaman. Simpel bukan?
- Dengan kuliah daring sudah pasti menekan penyebaran wabah yang saat ini tengah di hadapi oleh negara kita. Tapi masih banyak juga sih yang kuliah daring tapi ngumpul bareng kawan-kawannya. Kontradiktif yah.
Sisi negatif
- Dari segi ekonomi, banyak pula yang beranggapan bahwa kuliah daring justru lebih merugikan. Meski kalkulasi masing-masing pemakaian berbeda tapi acuan utamanya adalah ketika merasa tidak nyaman maka kuliah daring tidak efektif dan tak sedikit pula yang mengatakan uang jajan dikurangi. Sungguh pembenaran pribadi hehehe.
- Meski model kuliah diubah tetap saja banyak yang berkumpul dengan kawan sekampusnya tak lain untuk menghemat kuota lah, rokok dan hanya untuk mengurangi stres karantina dirumah. Hal ini justru tak sejalan dengan apa yang disampaikan pemerintah guna memutus rantai wabah.
- Pada tahap implementasi pun, kuliah daring memakai beberapa model perkuliahan dengan beberapa aplikasi, mulai dari Classroom, Zoom, WhatsApp, dll. Justru dengan beragamnya aplikasi ini hanya akan mempersulit bagi mahasiswa, karena banyak aplikasi yang tidak semudah klik saja langsung bisa diakses oleh teman-teman mahasiswa.
- Terakhir ini mungkin yang paling krusial dan kontroversial bagi saya, yah pemberian tugas yang banyak dalam model kuliah daring yang lebih memberatkan mahasiswa lagi. Diberi tugas secara tatap muka saja banyak yang tidak bisa, apalagi dalam bentuk virtual. Ada-ada saja.
Terlepas dari itu semua, banyak hal yang sebenarnya perlu kita perhatikan terkait kuliah daring ini. Baik pada implementasi maupun hal-hal lain yang saling berkaitan. Khusus pada yang berwenang dalam hal ini harusnya lebih interaktif dan mengkaji lagi bagaimana efektivitas pelaksanaan kuliah ini, entah itu pada tataran teknis maupun pelaksanaan. Lalu pada pemberian tugas kuliah pun harusnya di kurangi, sebab pada masa pandemi seperti ini dosen lah yang perlu aktif dalam menjelaskan materi kuliah entah dalam bentuk video maupun Voice note (Vn) serta menyelinginya dengan pengetahuan tentang covid19 agar mahasiswa paham.
Kemudian untuk teman-teman mahasiswa seperjuangan, tak masalah kita mengeluhkan persoalan kuliah daring ini, tapi lagi-lagi ini bukanlah hal yang dikehendaki. Tentu kita tahu bagaimana negara sedang dilanda musibah dan paling parahnya kita semua akan menghadapi resesi ekonomi yang langsung berdampak pada sendi-sendi kehidupan. Melemahnya rupiah bukanlah hal yang harus diremehkan, ketimpangan sosial dimana-mana dan banyaknya nyawa yang hilang akibat dari virus ini. Untuk itu kita sebagai mahasiswa yang katanya Agent Of Change perlu memikirkan kelangsungan negara kedepannya, memberikan solusi serta ikut aktif dalam memotong arus penyebarannya.
Terakhir terkait permintaan subsidi kuota ataupun SPP bagi saya adalah hal yang wajar bagi mahasiswa dan itu perlu diberikan oleh pihak yang berwenang, meski kita juga perlu melihat kondisi dan situasi mana kita berada serta apa yang menjadi dasar daripadanya.
Penulis : Suandi ( Perbankan Syariah, IAIM Sinjai, Semester IV)
Editor : Ayu Putri Syamnarila