Sekilas Mengulas Sejarah Hari Pendidikan Nasional
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Pahlawan tidak selalu identik dengan mengangkat senjata dan berperang. Saya memaknai pahlawan sebagai orang yang berjasa membela negara bukan hanya melalui medan perang. Namun siapa saja yang telah berjasa membawa bangsa ini menuju kemajuan baik di bidang sosial, budaya, teknologi, kesehatan, pendidikan dan bidang lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Ki Hadjar Dewantara adalah salah seorang pahlawan yang berjasa memajukan pendidikan di Indonesia. Karyanya yang terkenal “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Hadayani” yang artinya “Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan” menjadi slogan pendidikan yang digunakan hingga saat ini.
Ki Hadjar Dewantara gigih berjuang untuk memajukan pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari penjajahan Belanda. Menurut konsep pemikiran Ki Hadjar Dewantara bahwa semua kaum pribumi Indonesia harus berpendidikan, bahkan harus maju tingkat pendidikannya agar bangsa Indonesia bisa merebut kemerdekaan, tidak ditindas oleh bangsa lain, dan tidak dijajah oleh bangsa lain dalam bentuk penjajahan apa pun. Perjuangan Ki Hadjar Dewantara untuk memajukan pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia telah menginspirasikan bahwa pendidikan yang sangat penting ini tidak boleh diberlakukan diskriminatif bagi warga Negara Indonesia. Diskriminatif warga Negara Indonesia terhadap kesempatan dan pelayanan pendidikan harus dihilangkan, sebaliknya telah diperjuangkan bahwa pemerataan kesempatan pendidikan bagi seluruh warga Negara Indonesia harus diwujudkan.
Ki Hadjar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Pengajaran Indonesia dalam kabinet pertama Republik Indonesia. Atas jasanya dalam merintis pendidikan umum di Indonesia, beliau dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 305 tahun 1959 tertanggal 28 November 1959, hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara yaitu tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Refleksi Pendidikan di abad 21
Adalah cita-cita setiap bangsa untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyatnya, dan hidup sejajar dan dihormati kalangan bangsa-bangsa lain. Demikian pula bangsa Indonesia bercita-cita untuk hidup dalam kesejahteraan dan kebahagiaan, duduk sama rendah dan tegak sama tinggi serta terhormat di kalangan bangsa-bangsa lain di dunia global. Semua ini dapat dan harus dicapai dengan kemauan dan kemampuan sendiri, yang hanya dapat ditumbuh-kembangkan melalui pendidikan yang harus diikuti oleh seluruh anak bangsa.
Memasuki abad 21, terasa begitu banyak hal yang berubah secara fundamental dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Runtuhnya sekat-sekat geografis akibat agenda globalisasi dan kemajuan teknologi informasi telah mengubah dunia ini menjadi sebagaimana layaknya sebuah desa raksasa yang antar penghuninya dapat dengan mudah saling berinteraksi, berkomunikasi, dan bertransaksi kapan saja serta dari dan dimanapun mereka berada. Dampak yang ditimbulkan dari perubahan lingkungan dunia membengkak luar biasa
Tidak dapat disangkal lagi, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi merupakan salah satu penyebab dan pemicu perubahan dalam dunia pendidikan. Dengan ditemukan dan dikembangkannya internet sebuah jejaring raksasa yang menghubungkan milyaran pusat-pusat data/informasi di seluruh dunia dan individu/komunitas global telah merubah proses pencarian dan pengembangan ilmu dalam berbagai lembaga pendidikan. Melalui search engine seorang ilmuwan dapat dengan mudah mencari bahan referensi yang diinginkannya secara “real time”; sementara dengan memanfaatkan “electronic mail” para ilmuwan berbagai negara dapat berkolaborasi secara efektif tanpa harus meninggalkan laboratoriumnya; atau dengan mengakses situs repositori video seorang mahasiswa dapat melihat rekaman kuliah dosen dari berbagai universitas terkemuka di dunia. Semua itu dimungkinkan karena bahan ajar dan proses interaksi telah berhasil “didigitalisasikan” oleh kemajuan teknologi.
Namun sayangnya, Sistem pendidikan Indonesia tidak sepenuhnya berjalan mulus dengan suguhan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Saya ingin menggambarkan wajah lain sistem pendidikan di Indonesia yang saya kutip dari pemikiran Paulo Freire dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas yang menurut saya masih relevan hingga hari ini. “Pendidikan yang dialami oleh kaum-kaum tertindas selama ini tak ubahnya seperti pendidikan dengan sistem bank. Guru merupakan subyek yang memiliki pengetahuan yang diisikan kepada murid, sedangkan murid hanya sebuah deposit belaka. Sangat jelas sekali pendidikan seperti ini tak ubahnya adalah suatu penindasan terselubung terhadap kreatifitas murid, murid dituntut untuk mengikuti jalan pemikiran guru tanpa diberi kesempatan untuk berpikir kritis dalam memecahkan suatu masalah yang ada”.
Pemandangan “Teacher Center Learning” merupakan pemandangan yang menurut saya masih sering kita jumpai. pemikiran Freire mengenai pendidikan yang terjadi menurut pengamatannya adalah pendidikan yang menindas, dimana pendidik dalam hal ini guru bertindak layaknya seorang penindas. Murid pun secara sadar menjadikan dirinya sebagai orang yang tertindas. Semua itu tidak lepas dari lingkaran sesat yang awalnya telah dimulai dan agaknya sulit untuk diputus, dimana orang-orang yang dulunya tertindas akan berbalik menjadi penindas, bukannya mengubah kontradiksi yang terjadi, tetapi malah melestarikannya.
Wajah lain pendidikan Indonesia yang ingin saya gambarkan kali ini mengacu pada kausalitas ekonomi dan pendidikan. Hubungan antara ekonomi dan pendidikan selalu menarik untuk dikaji. Saya akan mengutip pemikiran Eko Prasetyo dalam buku Orang Miskin Dilarang Sekolah. Salah satu teori menyatakan bahwa jika tingkat ekonomi masyarakat tinggi maka tingkat kemampuan mereka untuk memperoleh, lebih tepatnya membeli pendidikan menjadi tinggi. Lebih dari itu prestasi mereka yang berekonomi tinggi (orang kaya) cenderung lebih baik dibanding mereka yang berekonomi rendah. Mencari sekolah murah apalagi berkualitas di negeri ini cukup susah. semua dikenakan biaya dengan beban yang cukup besar iuran lainnya. Hal ini menyebabkan hanya yang kaya saja yang memiliki kesempatan untuk pintar dalam mengenyam pendidikan. Tak hanya itu, karena pengambil kebijakan tidak sensitif untuk segera merespon mahalnya biaya pendidikan banyak sekolah-sekolah yang diswastanisasi karena malasnya pemerintah mengambil peran.
Hari ini kita semua dipertontonkan dengan sejumlah perguruan tinggi yang berlomba-lomba mengejar status PTN-BH, uang pembangunan yang cukup mahal, uang kuliah tunggal yang selalu naik, uang praktikum dan banyak hal lainnya yang harus menguras isi dompet si kaya. Lagi-lagi orang miskin tersiksa di negeri sendiri, hanya menjadi korban mahalnya biaya pendidikan. Sebenarnya saya juga tidak ingin menutup mata terhadap sumbangsih pemerintah dengan kucuran beasiswa dari berbagai sumber setiap tahunnya. Hanya saja hanya si miskin yang beruntung yang mampu mendapatkannya.
Berdasarkan beberapa ulasan diatas, apakah pendidikan tanpa diskriminatif yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara telah tercapai? Mari Merefleksi
Referensi :
Freire, Paulo. 1985. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta : PT. Temprint
Prasetyo, Eko. 2004. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogyakarta : Resist Book
https://fransiscofaldo.wordpress.com/2014/05/04/sejarah-dan-makna-hari-pendidikan-nasional/
http://teoribagus.com/paradigma-pendidikan-indonesia-abad-21
*Penulis Merupakan Mahasiswa Jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Angkatan 2016