Covid-19 adalah salah satu penyakit menular yang belakangan mengejutkan seluruh dunia, termasuk indonesia. Wabah ini melululantahkan seluruh aktivitas manusia hingga harus berjalan pincang.
Aktivitas pendidikan yang harus dielaborasi dengan basis online, pengesahan kebijakan yang dianggap tidak pro rakyat namun oligarki dengan memanfaatkan kelengahan partisipasi publik dalam mengawal demokrasi secara fisik, ekonomi yang mengalami kemerosotaan, isu krisis pangan, korban jiwa, konflik sosial dan sederet permasalahan lain menjadi pukulan telak bagi negara yang secara kapasitas belum siap berlari lebih kencang menandingi kecepatan persebaran virus. Bukan saja negara berkembang, negara maju turut kelabakan dalam membendung ganasnya wabah ini.
Segenap pendapat muncul ditengah publik terkait akar masalah atau biang dibalik hadirnya wabah, ada yang beropini bahwa penyakit ini adalah konspirasi elit global yang menghendaki manfaat dari krisis, yang lain kerabat saya dalam pesan whatsappnya agak teoritis dengan mengatakan ini adalah wujud teori malthus untuk mencegah terjadinya krisis pangan karena membludaknya populasi manusia dan tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan untuk menghidupinya. Bagi agamawan ada yang mengatakan ini adalah cobaan dari tuhan terhadap kita. Mereka yang terjangkit tidak lepas dari kehendak yang mahakuasa. Cobaan bagi yang beriman dan azab bagi yang ingkar atau kafir (menutup diri dari kebenaran) “yang jelas ini adalah momen yang tepat untuk kita meningkatkan ibadah kolektif kita” anggapnya. Tentunya deretan alasan tersebut yang memenuhi wacana publik belakangan ini.
Termasuk tulisan ini juga didorong dengan ikhtiar yang sama. Dengan sudut pandang lain dengan tujuan menuntut kita memberikan tempat untuk merefleksi kembali aktivitas-aktivitas yang selama ini kita lakukan terutama dalam berelasi dengan alam.
Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang paling banyak tidak percaya bahwa perubahan iklim (Sebagai salah satu sebab utama lahirnya berbagai bencana dan penyakit) terjadi akibat ulah manusia.
Indonesia berada di peringkat pertama dari 23 negara dengan persentase 18 persen. Sementara, posisi kedua dan ketiga ditempati Arab Saudi (16 persen) dan Amerika Serikat (13 persen). Meski begitu, tidak dijelaskan secara rinci penyebab ketidakpercayaan di dua negara tersebut. (Liputan6.com).
“Mengapa alam?”, tentunya kita akan bertanya” apa kaitannya?
Penyakit menular adalah salah satu penyebab kematian paling mematikan setelah kelaparan dan peperangan. (Yuah Nouval Harari)
studi mengungkapkan penyakit yang muncul belakangan ini. lebih didominasi oleh penyakit zoonosis. Zoonosis adalah penyakit yang disebabkan oleh organisme infeksius, semacam bakteri, parasit yang lahir dari mutasi atau transmisi penyakit, Organisme ini menyerang hewan yang daya tahannya lemah, stress akibat kondisi alam yang tidak sehat atau gangguan ekosistem, yang pada akhirnya menular ke manusia.
Zoonosis dapat terjadi karena semakin seringnya interaksi yang terjalin antara manusia dan hewan, keintiman itu ditenggarai beberapa faktor; perusakan ekosistem dengan melakukan pengalihfungsian lahan menjadi pertambangan, perkebunan, yang menyebabkan hewan liar mendekati manusia, hal ini juga menyebabkan deforestasi hutan, kian diperparah dengan perburuhan hewan yang semakin intens dan merusak ekosistem.
Pada awalnya, patogen atau organisme baik virus atau bakteri sudah ada di dunia namun ia terjaga dalam benteng ekologi yang kuat yakni hutan. Patogen bisa jadi sudah ada di dalam tubuh-tubuh satwa. Namun siklus ekologi dalam habitat alami telah mengatur agar patogen-patogen tersebut hanya berdampak pada lingkungan terbatas. Ketika kota terbangun, sebuah ruang alami dihancurkan khususnya hutan, terbukalah portal bagi virus zoonosis karena patogen-patogen pada dasarnya masih ada, bergentayangan mencari inang baru (Hariadi Kartodiharjo 2020).
Dalam UNEP Frontier Report 2016 disebutkan, salah satu kekhawatiran yang muncul dari lembaga internasional, yang mengurusi program lingkungan adalah penyakit zoonosis.
Pada abad ke-20, telah terjadi peningkatan drastis penyakit menular, sekitar 75 persen merupakan penyakit zoonosis yang bersumber dari hewan.
Kita ketahui bahwa dari informasi yang beredar Covid-19 pertamakali muncul di china tepatnya pasar sebagai episentrum perdagangan hewan liar. Disanalah awal ketika trenggiling dan Kelelawar mulai menularkan penyakit ke manusia.
Wabah Covid-19 itu kemudian menyebar keseluruh penduduk Wuhan, China dan selanjutnta ke seluruh negara lewat aktifitas transnasional, dan menyebabkan ribuan korban berjatuhan. Bukan kali ini saja bencana wabah akibat zonoosis terjadi.
Di amerika akibat dari fragmentasi hutan akhirnya menimbulkan kerusakan habitat, menyebabkan berkurangnya predator seperti serigala, burung elang, rubah yang menyebabkan peningkatan populasi tikus meningkat tajam maka tikus tempat bersarangnya atau tempat berlembang biaknya organisme yang kelak akan menjadi penyakit. Inilah yang menyebabkan lahirnya penyakit Lyme dimana transmisi terjadi melalui kutu.
Sementara Malaria di hutan amazon terjadi akibat deforestasi hutan yang terjadi menyebabkan kondisi yang baik bagi nyamuk untuk berkembang pesat. Ini menyebabkan terjadinya malaria sekitar 50 persen akibat deforestasi hutan sebesar 4 persen yang menimbulkan perubahan drastis pada produktivitas dan kesejahteraan populasi masyarakat pedalaman amazon
Wabah yang sama juga pernah terjadi di Hindia Belanda, saat VOC mendesain Batavia mengikuti Arsitektural ruang Belanda yang di kelilingi kanal yang menjulur kedalam kota, mengalirkan air dari sungai ciliwung. Kanal-kanal ini sebagai sarana transportasi, pegawai, plesir maupun orang-orang kaya di batavia. Hingga Batavia saat itu menjadi pujaan karena keindahan kotanya.
Namun inovasi tersebut tidak diimbangi dengan upaya melakukan perawatan kanal-kanal. Pemukiman yang kian padat, limbah rumah tangga yang dialirkan ke kanal, begitupun limbah perkebunan tebu, dan aktivitas penyulingan arak. Menyebabkan seketika batavia diserang wabah mematikan yang lahir dari kanal tersebut, dikenal dengan Malaria. Kota batavia di tinggalkan dan pindah ke waltevreden (Bilangan Gambir) dan kota lama dihancurkan oleh Gubermen Deandels pada 1810.
Sementara sederet wabah lain seperti AIDS, flu burung, flu babi, ebola yang merupakan wabah karena zoonosis. Maka dalam tinjaiuan saintifik tersebut menemukan bahwa wabah memiliki korelasi dengan aktivitas atau sifat kerakusan manusia.
Posisi Manusia dan Alam dan Bagaimana Mereka Harus Berelasi
Manusia menempati posisi strategis dalam islam yakni sebagai khalifah (Al-Baqarah:30). Menjelaskan posisi istimewa yang diberikan kepada manusia untuk mengemban tanggung jawab sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi. Sebagai perwakilan, berarti manusia di tuntut untuk mewujudkan sebiluah sistem berkeadilan baik relasi manusia dengan manusia dan manusia dengan alam demi tetap terjaganya keberlangsungan yang harmonis.
Alam sebagai fasilitas yang dalam hal ini telah didesain sedemikian rupa hingga layak menjadi tempat berlangsungnya sejarah manusia, menyediakan segala yang dibutuhlan manusia untuk leberlangsungan hidupnya, Semuanya berlangsung pada suatu mode keseimbangan dan keharmonisan demi kemakmuran bumi dan seisinya. Hingga manisia patut bersyukur atas karunia tersebut.
Bilamana terjadi sebuah bentuk chaos atau ketidakseimbangan maka tidak lain adalah ulah-ulah manusia itu sendiri.
Allah SWT berfirman:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
(QS. Ar-Rum 30: Ayat 41).
Hingga dalam suatu kondisi mereka akan merasakan sendiri akibat dari perbuatannya. Ini dikarenakan kegagalannya dalam memikul amanah besar tersebut. Tidak dilandasi oleh sebuah apresiasi atau bentuk kesyukuran atas nikmat yang di berikan.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”
(QS. Ibrahim 14: Ayat 7).
Syukur menurut Murtadha Muttahari tidak dimaknai sebatas ungakapan syukur lewat lisan semata atau hanya sebatas apresiasi dalam hati. Ia hanya bagian aksidentilnya. Syukur yang sesungguhnya adalah menggunakam sesuatu sesuai dengan khendak pencipta yakni tujuan diciptakannya sesuatu. Dimana menggunakan sesuatu tidak pada posisi atau koridor fungsi penciptaannya adalah bentuk pengingkaran terhadap nikmatnya dan diperingati akan azab yang sangat pedih sebagai konsekuensinya baik di dunia (lahirnya wabah penyakit, gempa bumi, badai, tsunami, banjir, tanah longsor, kekeringan) maupun akhirat.
Bentuk kesyukuran terhadap alam adalah dengan memanfaatkan alam dalam kapasitas subsiten sebagai fasilitas keberlangsungan hidup manusia dalam batas-batas tertentu (needs). Namun alam yang terbatas ini jika di pandang dan diperlakukan sebagai suatu objek pemuas nafsu keserakahan manusia yang tidak mengenal batas adalah bentuk pengingkaran akan fungsi nikmat ini dan dengan sendirinya menjadi malapetaka bagi manusia.
praktik ekonomi yang selama ini berlangsung menunjukakkan pengabaian atas apresiasi dan tugas kekhalifaan, manusia mencoba menaklukkan alam hingga Menganggap remeh alam sebagai objek eksploitasi. Penjarahan hutan secara massal mengakibatkan konflik perebutan ruang antara hewan dan manusia dimungkinkan.
Tentu berdasar melihat corak ekonomi kita saat ini berpijak konsumerisme dimana kita berusaha sepenuh tenaga untuk memenuhi kebutuhan semu atau artifisial yang menyebabkan pasar meningkatkan produktifitas yang melanggengkan kegiatan eksploitasi semakin massif. Konsep zuhud (hidup sederhana) yang selama ini menjadi salah satu spirit dalam islam dalam menjaga keadilan sosial dan ekonomi turut tergerus oleh arus perkembangan zaman
Sehingga bukan tidak mungkin akibat deforestasi hutan yang kian parah melahirkan wabah yang lebih ganas sebagai dampaknya akan selalu mengintai peradaban manusia masa mendatang.
Dalil soal tugas tanggung jawab kekhalifaan turut dipertegas dengan Hadtis rasulullah; kullukum ra’in wakullukum mas`ulun an raiyyatihi (setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang bagaimana kepemimpinannya). menekankan posisi manusia sebagai pemimpin yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban sampai dimana kualitas tugas kepemimpinan setiap kita.
Rasulullah sebagai suri teladan dalam kisah peperangan menurut Husen Ja’far mencerminkan bagaimana interaksi manusia dan alam itu di bangun, dapat kita lacak dalam etika saat melakukan peperangan diantaranya mengutamakan arena yang jauh dari areal yang banyak pepohonan dan hewan-hewan. Kalaupun ada area peperangan itu mereka dilarang untuk membunuh atau merusaknya hewan maupun tumbuhan.
Dalam islam sendiri mengapresiasi alam sebagi sesuatu yang harus dijaga sebagaimana menjaga diri sendiri. Menjaga alam dan menjaga diri adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam tujuan hukum Islam (Maqashid Syariah). Tentunya keselamatan yang universal tidak hanya aspek tertentu, namun segala aspek (Rahmatan lil alamiin). Maka menjaga kelestarian alam adalah salah bentuk menjaga keselamatan manusia. Maka dalam hal ini terjadi kesinergisan bagaimana agama dan sains dalam menemukan akar penyebab maraknya bencana.
Akhirnya cara memandang alam selama ini harus diberi makna ulang. Ia harus di posisikan sebagai subjek, ia harus diposisikan sebagaimana kita memandang diri sendiri. Demi menjaga bumi ini tetap sehat dan layak untuk kehidupan generasi-generasi kita yang akan datang adalah bentuk kesyukuran paling mutakhir.
Sebab manusia dengan aktivitasnya dengan alam bertanggung jawab terjadap kondisi peradaban yang akan datang. Jika intensitas kerusakan alam tidak segera di tanggulangi, bukan tidak mungkin akan menjadi malapetaka bagi generasi yang akan datang.
“Kuu anfusakum waahliikum naraa”
Sumber:
https://m.liputan6.com/health/read/3964313/survei-ungkap-indonesia-paling-tak-percaya-perubahan-iklim-akibat-ulah-manusia
https://www.mongabay.co.id/2018/04/03/waspada-ada-penyakit-zoonosis-di-sekitar-kita/amp/#click=https://t.co/p7TztpEQ5k
https://amp.tirto.id/apa-yang-dilakukan-voc-ketika-batavia-dilanda-penyakit-malaria-ev6L
https://www.mongabay.co.id/2020/05/11/covid-19-dan-hukum-lingkungan-era-antroposen/amp/
Murtadha Muttahari ; Pengantar Epistimologi Islam
*Penulis Merupakan Mahasiswa Jurusan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Semester VIII (Fuad Hidayatullah)