Suatu sistem sosial yang menempatkan masyarakat sebagai objek akan menjadikan manusia yang hidup di dalamnya memiliki jiwa dan semangat yang pasrah kepada keadaan. Akibatnya manusia kehilang inisiatif untuk mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan. Artinya partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembangunan terkebiri oleh keadaan yang mengekangnya. Manusia dalam posisi yang tak berdaya imembuatnya terbelenggu dengan keadaan yang nyaris tidak mempunyai kesempatan untuk mengenal potensinya. Jika manusia tidak lagi mengenal potensi dirinya, tidak memahami peran dan arti kehadirannya di masyarakat, maka sedikit sekali kemungkinan bagi manusia itu untuk memperjuangkan harga diri dan martabatnya. Mereka hanya bersikap pasrah pada keinginan politik atau keinginan moral sang penguasa. Keinginan penguasa tidak dapat disanggah. Nalar masyarakat tidak lagi berjalan. Segala sesuatunya diserahkan secara penuh kepada penguasa.
Dalam sistem sosial masyarakat Bugis menurut Lontara’ “ adĕ” yang mengikat kehidupan atau sistem sosialnya menempatkan manusia pada kedudukan yang tinggi dan menjadi pusat perhatian bagi kelompok penguasa untuk dilindungi. Hak manusia Bugis dilindungi oleh adĕ’ yang mengikatnya dan tidak mengecualikan kelompok yang berkuasa. Adĕ yang melingkari kehidupan sosial masyarakat Bugis telah mengikat pemimpin dan masyarakat untuk memelihara harga diri dan martabat. Sehingga seseorang yang tidak dapat menjaga harga dirinya di masyarakat akan tersingkir dari lingkaran kehidupan adĕ’ tersebut.
Lontara’ yang merupakan sumber sejarah terpenting bagi manusia Bugis telah menempatkan posisi manusia sebagai subjek yang mempunyai peran aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam konteks kehidupan bernegara. Dari teks Lontara’ yang ribuan jumlahnya itu tidak satu pun isinya mengecilkan peran manusia “lapisan bawah” atau mengelu-elukan “lapisan atas” secara berlebihan. Uraian tentang kelompok penguasa digambarkan secara wajar dan dapat diterima oleh akal sehat manusia (Abdullah, 1985: 94).
Kedudukan Rakyat dalam Negara
Kedudukan rakyat yang merupakan faktor penentu dalam kehidupan bernegara sebagaimana digambarkan dalam ungkapan Bugis sebagai berikut:
Rusa’ taro arung, tĕnrusa’ taro adĕ’
Rusa’ taroadĕ’ , tĕnrusa’ taro anang
Rusa’ taro anang, tĕnrusa’ tarotomaega
(Mattulada, 1975: 349; Abdullah, 1985:94)
Artinya:
Batal ketetapan Raja, tidak batal ketetapan adĕ’
Batal ketetapan Adat, tidak batal ketetapan Kaum
Batal ketetapan Kaum, tidak batal ketetapan Rakyat
Dalam ungkapan di atas jelas tergambar bahwa kedudukan rakyat amat besar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rakyat berarti segalanya bagi negara. Raja atau penguasa hanyalah merupakan segelintir manusia yang diberi kepercayaan untuk mengurus administrasi, keamanaan dan pelaksanaan pemerintahan negara. Inilah yang disebut dengan pemerintahan “dari bawah” (buttom-up) yang dalam ungkapan Lontara’ disebut: “Mangngĕllĕ pasang massolompawo” (Bagaikan air pasang yang tak terbendung).
Ungkapan itu mengisyaratkan bahwa bagi masyarakat Bugis kepemimpinan adalah kepemimpinan “rakyat”. Inilah yang menerangkan mengapa dilarang pampawa adĕ’ (pemangku kekuasaan) mendirikan rumah di luar tembok istan, karena dia dibutuhkan siang dan malam untuk menghadap raja guna memberi pertimbangan ikhwal negara. Pabbicara (perdana menteri) tidak boleh berhenti berpikir untuk mencari cara yang dapat membawa kebaikan bagi rakyat banyak agar rakyak patuh melaksanakan perintah raja, karena rakyat itu jugalah sesungguhnya adalah negara. Adapun negara tidak berubah. Misalnya apabila negara berperang maka berkatalah orang: hancurkan negara itu; mereka tidak berkata hancurkan manusia, padahal manusialah yang saling membunuh. Tiga macam yang menyebabkan kerusakan rakyat yaitu pertama apabila rakyat mati, kedua apabila hartanya dirampas dan ketiga apabila rakyat lari ke negeri lain.
Seorang raja baru dianggap layak apabila dia mempunyai rakyat yang banyak dan perintahnya ditaati. Jika demikian keadaannya, sempurnalah kekuasaan raja itu. Besarlah harapan rakyat kepada raja. Apabila ada orang yang ingin berbuat sewenang-wenang kepada mereka maka raja dan perdana menteri dituntut berusaha semaksimal mungkin untuk memelihara rakyatnya. Sebab jika tidak rakyat akan bercerai-berai. Apabila rakyat bercerai-berai susahlah untuk menyatukannya kembali. (Lontara’LaToa)
Dari kutipan tersebut tampak bahwa ada tiga hal penting yang dapat dicermati yaitu: (1) kelompok pejabat dan pemerintah mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap rakyatnya, (2) negara bukanlah berarti penguasa tetapi negara adalah rakyat dan (3) raja atau pemimpin adalah pengayom bagi rakyatnya.
Hubungan Pemimpin dengan Rakyat
Jalinan hubungan antara pemimpin dan rakyat digambarkan dalam LSW sebagai berikut:
Janganlah engkau hai para Arung beritikad jahat terhadap rakyatmu. Akan padam api tungkumu (padam kemuliaanmu) dan kalian penduduk janganlah beritikad buruk terhadap rajamu akan padam api di perapianmu (engkau akan ditimpa bencana). (Lontara’Sukkuna Wajo, 337 :11).
Dalam Lontara’ Latoa ditegaskan bahwa apabila suatu ketika ada manusia, keluarga, kelompok sosial dalam masyarakat yang diperlakukan dengan tidak adil oleh raja maka manusia itu dapat melakukan tindakan protes terhadap penguasa yang telah merugikannya. Kalau usaha masyarakat tidak berhasil biasanya ditandai dengan panen padi yang gagal. Semua orang di negeri itu mulai dari penguasa atau raja sampai masyarakat biasa harus mengintrospeksi dirinya karena di antara mereka pasti ada yang telah berbuat kesalahan. Tersebut dalam sejarah bahwa pada waktu La ManussaToakkarangĕng menjadi Datu Soppeng di Tanah Soppeng (KabupatenSoppeng saat ini) terjadi kegagalan panen dan orang Soppeng hampir kelaparan karena kemarau panjang. Diselidikinya sebab bencana tersebut tetapi tak ada juga pejabat kerajaan yang melakukan perbuatan sewenang-wenang. Setelah lama berpikir diingatnya bahwa raja sendiri pernah memungut barang di sawah orang lain dan menyimpannya sendiri. Itulah sebab kemarau panjang tersebut, pikirnya. Lalu raja mengadili dirinya sendiri karena tidak ada orang yang berani melakukannya serta menjatuhkan denda pada dirinya. Dia menyembelih kerbau kemudian dagingnya dibagikannya kepada orang banyak. Di hadapan orang banyak dia menyatakan dirinya telah bersalah karena memungut barang orang lain (Abidin, 1983: 164).
Di Sidenreng Rappang, La PagalaNene’ Mallomo pada abad XVI sebagai murid La Taddamparĕ yang baik menjatuhkan pidana mati terhadap putranya sendiri yang terbukti menggunakan luku orang lain tanpa seizin pemiliknya. Ketika ditanya apa sebab pidana mati putranya dan apakah ia menilai sama jiwa putranya dengan hanya sebuah luku? beliau menjawab: “Adĕ’ e tĕmmakiana’ tĕmmakiĕppo” (Abidin, 1983: 124). Artinya, “Hukum tidak mengenal anak dan tidak mengenal cucu”.
Adat menjamin hak dan protes rakyat dengan lima cara sebagai berikut.
- Mannganroriadĕ’, memohon petisi atau mengajukan permohonan kepada raja untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu, seperti kemarau panjang karena dimungkinkan sebagai akibat kesalahan pemerintah.
- Mapputane’, menyampaikan keberatan atau protes atas perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika menyangkut kelompok maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja. Tetapi jika perseorangan maka orang yang bersangkutan langsung menghadap raja.
- Mallimpo-adĕ’, protes yang mendesak adat karena perbuatan sewenang-wenang raja dan karena usaha mapputane’ Orang banyak tetapi tanpa perlengkapan senjata mengadakan pertemuan dengan para pejabat negara dan tidak meninggalkan tempat itu kecuali permasalahannya selesai.
- Mabbarata, protes keras rakyat atau kaum terhadap raja. Karena secara prinsipil masyarakat merasa telah diperlakukan tidak sesuai dengan panggadĕrĕng hukum dan peraturan yang berlaku oleh raja, keluarga raja atau pejabat kerajaan. Masyarakat atau kaum berkumpul di balai pertemuan (baruga) dan mendesak agar masalahnya segera ditangani. Jika tidak rakyat atau kaum akan mengamuk yang bisa berakibat sangat fatal pada keadaan negara.
- Mallĕkkĕ’ dapurĕng, tindakan protes rakyat dengan berpindah ke negeri Hal ini dilakukan karena rakyat telah bosan melihat kesewenang-wenangan raja di dalam negerinya dan protes lain tidak ampuh. Mereka berkata: “Kamilah yang memecat raja atau adat, karena kami sekarang melepaskan diri dari kekuasaannya”. (Mattulada, 1985: 417-419).
Hak koreksi rakyat terhadap perbuatan sewenang-wenang pemimpin atau pejabat negara merupakan bukti bahwa kehidupan bernegara manusia Bugis menekankan unsur “demokrasi”. Negara menjamin hak setiap warga negaranya untuk melakukan koreksi atau protes terhadap keadaan yang menyimpang dari peraturan guna mendapatkan keadilan dari pemimpin mereka. Jaminan atau kepastian hukum yang terdapat dalam sistem sosial masyarakat Bugis mempunyai kedudukan yang amat esensial karena berpengaruh langsung terhadap sistem kepemimpinan pihak penguasa. Penguasa bersikap waspada dalam mengeluarkan pernyataan, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan atau mengeluarkan suatu pernyataan yang mengada-ada demi kepentingan kelompok elite. Kebijakan yang menyimpang dari adat dapat menimbulkan keadaan fatal bagi penguasa. Inilah yang merupakan batas kekuasaan, batas suatu kebijakan dan batas suatu ambisi. Agar kelompok penguasa dapat mengendalikan tugas dan tanggung jawabnya sekaligus merupakan kontrol sosial yang ampuh bagi penguasa yang mencoba berbuat sewenang-wenang.
Penulis
Azhar Prayoga M (Mahasiswa jurusan Ekonomi Islam, semester VIII)