Pada pertengahan abad ke-19, muncul kesadaran kolektif kaum terpelajar di Eropa tentang adanya suatu perubahan yang besar, terutama dalam pengorganisasian kegiatan ekonomi secara umum. Kesadaran kolektif itu baru benar-benar mewujud dengan munculnya istilah kapitalisme dalam kamus Bahasa Eropa. Menurut sejarawan Eric J.Hobsbawn (1979; 1), istilah kapitalisme sendiri baru popular dalam kamus pada paro kedua abad ke-19. Dengan panjangnya rangkaian sejarah yang berkembang, proses dialektika dalam masyarakat kian mewujud dari seluruh aspek kehidupan manusia. Lebih lanjut, dapat dipahami pemikiran liberalisme dikenal bernama Sir Adam Smith, seorang Filsuf asal Skotlandia yang menurut beberapa ekonom dan praktisi, Adam Smith digelar bapak ekonomi modern. Ajarannya yang kini menjadi bangunan ideologi sistem ekonomi liberal. Paham ini kokoh dan pada akhirnya mewujud sebagai sistem kapitalisme.
Kapitalisme adalah suatu sistem yang di mana barang, jasa hingga kebutuhan manusia paling dasar, diproduksi demi kegiatan pertukaran yang menguntungkan. Selain itu, tenaga kerja manusia pun menjadi komoditas untuk dijual di pasar. Dalam hal ini, kapitalisme adalah system pranata sosial dimana sebagian besar aktivitas produksi komoditas untuk diperjualkan ke masyarakat dikerjakan oleh kelas pekerja tanpa propertyless labourers (baca :kepemilikan property) yang akan secara paksa menjual tenaganya demi menerima upah agar mampu mendapatkan akses terhadap sarana penghidupan dan kerja itu sendiri. Dalam pengertian yang lebih lanjut, kapitalisme yang membayang dalam kehidupan manusia dapat dilihat dari ciri-ciri berikut;
- Kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi seperti tanah, pabrik, dan bisnis.
- Tenaga kerja yang digaji atau sering juga disebut buruh upahan.
- Produksi barang atau usaha menawarkan jasa untuk mendapatkan laba melalui system pertukaran pasar.
Sebagaimana ciri-ciri diatas, Kapitalisme bukan hanya suatu ideologi ekonomi-politik. Kapitalisme mewujud dalam suatu bentuk kebudayaan yang bersumber dari Capital (Baca; Modal) sebagai inti hubungan sosialnya. Sebagai suatu hubungan sosial yang historis, Capital tidak mengada sejak azali, ia muncul dan berkembang di dalam sejarah. Ciri pokok masyarakat kapitalis ialah keterpilahan relasi sosial dan ekonomi kedalam justifikasi kelas-kelas sosial atau bentuk klasifikasi kelas yang berjalan secara beriringan. Khususnya pada pemetaan kelas antara kelas pemilik sarana produksi dan kelas tanpa sarana produksi. Selain terpilahnya berdasarkan hubungannya dengan hak sarana produksi, tiap-tiap orang di dalam masyarakat kapitalis terisolasi sebagai individu oleh pranata kepemilikan pribadi yang bersifat absolut. Absoluditas ini terinternalisasi dari banyaknya proses melalui jalur hukum formal. Artinya dalam pranata sosial dibawa kapitalisme, tidak seorang pun dalam masyarakat yang bisa mengakses atas ketersediaan sumber daya yang telah disediakan alam. Hal ini terjadi, sebab sarana produksi telah mendapati bentuk kepastian hukum, atas siapa yang memiliki dan batasan yang secara tidak langsung mengeliminasi peruntukkan alam yang tersedia bagi keberlangsungan hidup manusia. Paradoks ini terjadi sebab telah hadirnya hukum formal yang ikut melegitimasi segelintir kepentingan individu. Seseorang yang memanfaatkan alam tanpa izin pemilik, dari keterpisahan sosial dan isolasi individu didalam kerangka hak milik pribadi absolut ini, kerja diorganisasi melalui system kerja kapitalisme.
Di bawah sistem ini, untuk bisa mendapatkan manfaat dari sarana produksi dan memenuhi kebutuhan hidup, Golongan tanpa sarana produksi harus menjual satu-satunya yang masih tersisa dari kehidupan mereka, yakni tenaga kerjanya kepada golongan pemilik sarana produksi yang membutuhkan tenaga kerja lain untuk mengoperasikan sarana produksi miliknya dalam rangka memperbanyak kekayaan. Dengan menjual tenaga kerjanya, golongan tanpa sarana produksi mendapatkan upah. Upah adalah sejumlah tertentu uang yang nilai besarannya dipengaruhi permintaan dan penawaran. Dengan upah inilah kemudian mereka membeli sejumlah barang dan jasa yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Semua nilai barang yang dihasilkan dari pencurahan kerja diambil dan menjadi milik pribadi absolut golongan pemilik sarana produksi. Di dalam masyarakat kapitalis, satu-satunya jalan bagi semua orang untuk mendapatkan barang dan jasa yang telah dihasilkan ialah pergi ke pasar untuk menukar uang miliknya dengan barang yang dibutuhkan, pun apabila orang ingin mendapatkan uang, haruslah ia membawa barangnya ke pasar. Semua transaksi diperantarai uang dan barang. Semua orang tampil dalam kategori-kategori uang dan barang. Semua menjadi anonym, di pasar kapitalis, lenyap sudah hubungan pribadi. Bahkan terhadap manusia dan kehidupan. Tepat kiranya dikatakan bahwa masyarakat kapitalis berdiri di atas sambungan-sambungan nirpribadi antar individu dan menggunakan barang sebagai penampilan kaitan-kaitannya (peterrson, 2009, 146). Sebagai hal yang bukan barang komoditi harus terkebih dahulu diperlakukan sebagai komoditi untuk bisa masuk kedalam pasar. Termasuk untuk sesuatu yang secara empiris bukan komoditi,
Dalam pasar kapitalis, tenaga kerja menjadi barang komoditi. Hal ini merupkan sesuatu yang unik dalam sejarah. Tenaga kerja bukan hakekatnya sebagai komoditi. Keunikan tenaga kerja sebagai komoditi golongan pekerja tidak terdapat dalam masyarakat pra-kapitalis, termasuk masyarakat yang mengenal pasar sebagai pranata pertukaran (wolf, 1990). Di dalam formasi sosial perbudakan, misalnya, tidak dikenal jual-beli tenaga kerja lepas dari manusianya. Meskipun sebagai individu dengan golongan budak sewaktu-waktu bisa diperjual-belikan, mereka sama sekali tidak bisa menjual tenaga kerjanya sendiri. Ciri ini berlawan dengan salah satu ciri kapitalisme (harris, 1999; 165). Di dalam perbudakan kuno, budak tidak menjual tenaga kerjanya kepada pemilik budak lebih dari sapi menjual tenaga kerjanya kepada petani. Budak bersama dengan tenaga kerjanya dijual sekaligus kepada pemiliknya. Dia adalah barang dagangan yang bisa pindah dari satu tangan ke pemilik lainnya. Artinya, budak merupakan barang dagangan, tetapi tenaga kerjanya bukanlah barang dagangannya. Hamba (baca:budak) menjual hanya sebagian dari tenaga kerjanya. Dia tidak menerimah upah dari pemilik lahan; sementara pemilik tanah menerima upeti darinya, jelas marx (1963; 82)
Jadi secara antropologis, perekonomian kapitalis memerlukan suatu kondisi sosial yang khusus berupa terlembaganya jual-beli tenaga kerja. Kerja yang pada hakikatnya bagian eksistensi dari hubungan manusia dengan alam, haruslah dipisahkan sedemikian rupa dari golongan pekerja dan hakikat kehidupannya. Setelah terpisah ia dijadikan sesuatu yang seolah-olah berada diluar kehidupan. Pemisah ini tidak terjadi begitu saja secara alamiah dan niscaya layaknya bulir gabah tumbuh dari tanaman padi setelah beberapa bulan ditanam. Pemisah ini memerlukan perjuangan dari golongan sosial yang dapat banyak manfaat dari pemisahan itu. Perlu sejarah berabad-abad sebelum maraknya praktik dan kesadaran bahwa tenaga adalah barang dagangan.
Karl marx berpendapat bahwa nilai ekonomi berhubungan dengan waktu kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu kommoditi. Barang yang pembuatannya membutuhkan dua jam, bernilai dua kali lebih tinggi dari barang yang bisa dikerjakan dalam waktu satu jam. Maksudnya, disisi ini hadir waktu kerja objektif, yakni waktu rata-rata yang diperlukan dengan kepandaian kerja tertentu untuk membuat suatu barang. Maka, secara sederhana nilai ekonomi sebuah barang ditentukan oleh jumlah waktu rata-rata yang diperlukan untuk memproduksi suatu barang. Dengan pandangan tentang waktu kerja objektif sebagai ukuran nilai komoditi, Marx lalu mengarahkan diri pada persoalan tenaga kerja. Dalam bisnis pada umumnya, tenaga kerja yang merupakan subjek dan sekaligus pemilik yang bebas atas pekerjaannya, kini di manfaatkan oleh pengusaha untuk mendatangkan uang. Dengan kata lain, tenaga kerja yang sebelumnya di lihat sebagai subjek yang menentukan nilai sebuah komoditi, sekarang menjadi komoditi.
Teori surplus telah menjadi titik tolak marx untuk mengungkapkan kebobrokan kapitalisme. Terutama berkaitan dengan berbagai implikasi yang penting dari tesis kapitalisme tentang konsentrasi dan akumulasi modal. Marx melihat bahwa kaum kapitalis akan selalu berusaha untuk terus memperluas produksinya. Kapitalisme dalam upaya untuk tetap tampil dalam persaingan akan menurunkan harga produknya. Untuk menjual produk dengan harga yang lebih murah, para pengusaha harus meningkatkan produktivitasnya dengan meningkatkan pemakaian mesin dan melipatgandakan tenaga kerja buruh. Tetapi, pembelian mesin baru secara terus menerus akan terasa sangat mahal. Para kapitalis dengan modal kecil tidak akan bisa terus bertahan dalam persaingan sehingga mereka akan bangkrut. Olehnya yang bertahan hanyalah pengusaha yang mampu terus memperbaharui mesinnya.
Sebelum terjadinya krisis, Amerika serikat adalah negara besar yang terus mengalami pertumbuhan. Industry mengalami kemajuan karena didukung oleh penggunaan teknologi modern. Pertumbuhan yang pesat mengubah gaya masyarakat dan melahirkan lembaga-lembaga baru di bidang ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan. System kredit mulai digemari oleh masyarakat. Ketika pada tahun 1925 sektor industry mulai mengalami kemandegan. Sektor industri automobile mengalami keletihan produksi (over production) pada tahun 1928. karena budaya konsumerisme pada masyarakat tidak didukung dengan peningkatan pendapatan sehinga terjadi kekurangan kebutuhan atas mata uang kemudian masyarakat beralih ke kredit yang segera melampai batas dan menimbulkan kejatuhan saham.
Karena krisis ekonomi 1929 pada dasarnya adalah krisis kapitalisme yang sifatnya global, maka krisis juga merembes ke beragai belahan dunia. Untuk kembali bangkit pasca krisis ekonomi di tahun 1929, perbaikan ekonomi mulalui kebijakan yang cukup mendasar dilakukan setelah pemilihan umum presiden pada tahun 1932, kebijakan new deal kemudian di hadirkan untuk mengatasi krisis ekonomi dimana campur tangan pemerintah dalam skala massif dalam kehidupan ekonomi AS. Dengan demikian ia adalah kebijakan meninggalkan gaya lieralisme klasik yang sangat kental dicirikan sebagai masyarakat individualism. Great depression sebagaimana yang dipahami atas krisis ekonomi tahun 1929-1930an adalah bukti bahwa kapitalisme-liberalisme (lieralisme klasik) ala Adam Smith yang berakhir pada ketidakmungkinan tidak bisa diandalkan dalam mengatur perekonomian masyarakat. Hal ini menunjukkan butuh campur tangan pemerintah. Kondisi ini kembali dijemput oleh Roosevelt dengan program new deal-nya. Dalam ranah akademik, pemikir ekonomi liberalisme klasik pada waktu itu mengalami evaluasi.
Namun sejalan dengan berjalannya waktu, kapitalisme terus mengalami evolusi. Sebagai bentuk asali tumbuhnya kapitalisme adalah liberalisme. Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap kepemilikan individu. Selanjutnya, hadir Neoliberalisme yang sejatinya tidak berbeda dengan kapitalisme, dengan tujuan untuk mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar, dengan tetap mengacu pada kebebasan. Pendorong utama kembalinya kekuatan kekuasaan pasar adalah privatisasi aktivitas-aktivitas ekonomi, terlebih pada usaha-usaha industri yang dimiliki-dikelola pemerintah.
Dengan diterapkannya kebijakan neoliberal di beragai negara tentu itu juga menunjang proyeksi kapitalis, dimana kebijakan neoliberal memiliki ciri penting yaitu privatisasi dan komersialisasi (komodifikasi) layanan publik, maupun kebijakan untuk komersialisasi dan privatisasi sember daya alam yang seharusnya menjadi milik komunal. Privatisasi secara umum di pahami sebagai proses sistematis untuk memindahkan status kepemilikan badan usaha milik negara atau kekayaan publik lainnya dari tangan seluruh anggota masyarakat kepada para pemilik modal perseorangan. Apa yang menjadi pendirian neoliberalisme sesungguhnya adalah kebijakan pasar bebas, untuk mendorong perusahaan-perusahaan swasta dan pilihan konsumen berkembang. Negara atau pemerintah bagi system Neoliberalisme adalah masalah, oleh karenanya muncul gagasan menyingkirkan birokrat yang sebagai parasite dalam perkembangan ekonomi. Secara lebih khusaus, neoliberalisme muncul dalam kebijakan: liberalisasikan perdagangan dan keuangan. Sederhananya, cukup biarkan pasar menentukan harga. Dalam rangka bekerjanya pasar menurut hukum permintaan dan penawaran, maka negara tidak boleh ikut menjadi pemain.
Kebijakan privatisasi sesungguhnya erat kaitannya dengan jatuhnya paham developmentalisme (pembangunanisme) atau paham kapitalisme negara, selain karena diakibatkaen oleh menguatnya paham kapitalisme pasar bebas. Sejak krisis ekonomi tahun 1930-an negara mulai menjadi aktor utama atau diberi wewenang sebagai pengendali ekonomi dan politik. Namun pada saat yang sama, negara juga harus bertanggung jawab untuk melindungi, mensubsidi, dan bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Atas dasar alasan ini, perusahaan negara, sekolah dan universitas negeri, rumah sakit negara, puskesmas, perusahaan transportasi atau angkutan umum negara, bahkan hotel dan pasar milik negara diciptakan. Lebih lanjut, negara bertanggung jawab untuk mencegah terhadap setiap bentuk pelanggaran HAM, termasuk hak pendidikan, kesehatan, informasi, serta hak-hak dasar lainnya. Apalagi kekuasaan negara untuk mengontrol sumber daya alam dan ekonomi saat ini tengah dilucuti oleh paham liberalism. Melalui kampanye privatisasi dan potongan subsidi, akhirnya banyak negara yang tidak mampu lagi melaksanakan amanat konstitusi untuk melindungi (memproyeksi) rakyatnya. Desakan rezim pasar bebas untuk mengatur “reformasi kebijakan” dengan melakukan amandemen pada konstitusi, serta menindak lanjuti dengan melakukan reformasi untuk menciptakan produk perundang-undangan baru yang bernafaskan neoliberal.
Terbukti dengan hadirnya aturan Omnibus Law atau Cipta Kerja yang di kadang kadang mampu membuka lapangan pekerjaan yang luas dengan mempermudah regulasi untuk berinvestasi di Indonesia. Namun di lihat dari sebelum hadir undang-undang Omnibus Law, dari tahun 2015 – 2019 kondisi iklim investasi Indonesia terus mengalami kenaikan meskipun di sisi lain serapan tenaga kerja terus mengalami penurunan dari 1.400,000 orang. Lebih lanjut, pada tahun 2015 sampai tahun 2019 tenaga kerja yang diserap sebanyak 1.000.000an orang (kata data). Hal yang sama dirilis oleh Global wealth report tahun 2018 menyebut dari total penduduk 273 juta, 1% dari penduduk ini menguasai 46,6% kekayaan nasioanal, 99% penduduk menguasai 53,4% kekayaan nasional (gloal wealth report). Dari data tersebut kita dapat melihat bagaimana sebuah kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang, serta dalam perkembangannya kapitalis menggandeng pemangku kebijakan untuk terus dapat mengakumulasi dan kian kokoh atas pranata sosial yang diproyeksikan.
Apakah ini hanya semata-mata pembalikan sejarah yang kian berulang, dualitas yang telah banyak terjadi hanya tetap mampu ataukah kita hanya cukup sebagai penikmat dari banyaknya paradox yang diciptakan oleh Kapitalisme, Neoliberalisme, Neo-kolonialisme dan segala tetek-bengek lainnya yang sama-sama mencipta inhumanity for world? Semoga saja tidak.
Dafta pustaka :
- Dua, M. (2008). Filsafat Ekonomi: Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama. PT KANISUS
- Fakih, M. (2003). Bebas Dari Neoliberalisme. INSISTPress.
- Mulyanto, D. (2012). Geneologi Kapital, Antropologi dan ekonomi politik pranata eksploitasi kapitalistik. Resist Book.
- Soyomukti, N. murwidiamoko, H.(2012). Occupy Wall Street,dari kris amerika serikat (AS) menuju gerakan massa anti-neoliberalisme. Intrans Publishing.
- Tormey, S. (2016). Antikapitalisme panduan Bagi pemula. Teraju Mizan.
- Wood, E,M. (2021). Asasl usul kapitalisme: kajian secara menyeluruh. Independen.
Penulis : A. Muh Kayyum (Mahasiswa Ilmu Ekonomi, Semester VII)