Pendidikan merupakan laboratorium ilmu pengetahuan, mempertajam kecerdasan, dan kepekaan sosial. Pendidikan adalah wadah yang memiliki peran sentral dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia. Dianggap mampu memberikan perkembangan bagi kehidupan bangsa. Hal ini kemudian yang mengilhami berbagai negara di dunia untuk menerapkan pendidikan sehat dan baik bagi masyarakat
Tapi, pendidikan tinggi dalam penerapanya, tidak lagi menjadi tanggung jawab penuh pemerintah, dalam hal ini menteri keuangan. Justru pendidikan kini menjadi tanggung jawab peserta didik, orang tua atau pihak lain yang membiayainya dan pemerintah. Celakanya, pihak lain selain pemerintah yang justru paling banyak mengeluarkan biaya pendidikan. Semakin nampak bahwa peran pemerintah justru semakin berkurang. Semakin jauh dari amanat konstitusi, dimana pemerintah bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain daripada itu, pendidikan cenderung mahal, ditandai dengan jamaknya bentuk-bentuk liberalisasi pendidikan yang kini ditemukan
Cikal bakal hadirnya liberalisasi pendidikan tinggi, berangkat dari perjanjian Indonesia dengan World Trade Organization (WTO). Pendidikan menjadi salah satu sektor jasa yang diperdagangkan, layaknya seperti pasar. Perjanjian tersebut adalah General Agreement on Trade in Services (GATS) yang meliberalisasi 12 sektor jasa.
Lantas apa kabar dengan kondisi pendidikan khususnya di UIN Alauddin makassar? Jika kita menilik rentetan sejarah masalah pendidikan yang ada di UIN, UKT/BKT pasti sasarannya. Sistem tersebut muncul ketika tahun 2013 Menteri Pendidikan mempresentasikan sistem yang diyakini mampu meminimalisir praktik komersialisasi pendidikan di kampus. Sehingga, konsep ideal UKT/BKT hadir ialah untuk meringankan biaya kuliah. Tapi, berbeda dengan UIN Alauddin Makassar, penerapan UKT/BKT justru menjadi momok bagi mahasiswa (i).
Saat ini, ada beberapa polemik UKT/BKT yang kini harus ditanggung oleh mahasiswa (i), mulai mekanisme penetapan UKT tanpa melalui proses wawancara, rekategorisasi yang tidak optimal, dan tidak adanya pemotongan UKT bagi mahasiswa dalam tahap penyelesaian studi akhir. Subjektifitas penetapan UKT justru mengindikasikan tindakan sewenang-wenang bagi pimpinan untuk menetapkan kelompok UKT mahasiswa (i). Sehingga, tidak jarang dari camba memilih untuk tidak kuliah disebabkan UKT yang harus dibayarkan tidak sesuai dengan perekonomian orang tuanya. Meninjau PMA Nomor 7 Tahun 2018 BAB III, pasal 8 ayat (2) menyatakan bahwa UKT calon peserta didik harus sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.
Selain itu, hadirnya rekategorisasi UKT di kampus tidak lagi menjadi angin segar bagi mahasiswa (i) ketika dalam penerapannya tidak optimal. Sebab seringkali pimpinan lalai dalam tanggung jawabnya. Misalnya, Surat Keputusan (SK) nama-nama yang lulus rekategorisasi harusnya keluar dua minggu sebelum tanggal pembayaran UKT, tapi pada kenyataanya pimpinan mengeluarkan sk satu hari sebelum penutupan pembayaran. Alih-alih menaati aturan, pimpinan justru mengingkarinya. Lain halnya dengan masalah pemotongan UKT semester sembilan (9). Mahasiswa (i) dalam tahap study penyelesaian akhir harus membayar UKT secara penuh. Padahal mahasiswa (i) dalam kategori tersebut, tidak lagi menikmati seluruh biaya langsung dan tidak langsung yang ada. Biaya langsung diantaranya kegiatan kelas, kegiatan laboratorium/studio/bengkel/lapangan, kegiatan tugas akhir/proyek akhir/skripsi, dan bimbingan konseling atau kemahasiswaan. Sedangkan, biaya tidak langsung diantaranya biaya administrasi umum, pengoperasian dan pemeliharaan/perbaikan sarana dan prasarana, pengembangan institusi, dan biaya operasional lainnya.
Polemik UKT/BKT di UIN Alauddin makassar sampai saat ini tidak kunjung usai. Oleh sebab itu, lembaga kemahasiswaan beserta elemen lain yang terlibat di dalamnya masih terus menggaungkan suara-suara perlawanan. Sebab, sejatinya mahasiswa (i) ialah mereka yang peka terhadap masalah sosial.
Penulis: Ahmad Raihan