Pendidikan bagi kami seperti mimpi di siang hari. Biaya pendidikan ibarat momok bagi calon peserta didik. Sebab, untuk merasakan pendidikan, orang tua atau peserta didik harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Terlihat pada pola pembiayaan yang semakin jamak, utamanya biaya pendidikan tinggi. Menilik Undang-Undang Dasar 1945 BAB XIII, Pasal 31 ayat (2), bahwa pendidikan yang dimaksud harus diusahakan dan diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai “satu sistem pengajaran nasional”. Pendidikan harus diselenggarakan oleh pemerintah secara nasional, dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Menapaki jejak pendidikan di Indonesia, akses pendidikan bagi kelas bawah sangat sulit. Marak kita temui orang tua lebih memilih anaknya tidak sekolah. Fenomena ini berangkat dari satu permasalahan umum, yakni biaya sekolah atau pendidikan tinggi yang semakin mahal. Pendidikan layaknya seperti pasar yang hanya mengejar provit, bukan ilmu. Terlebih lagi, memasuki tahun ajaran baru, ada yang menghela nafas dalam-dalam sembari memasuki lahan basah pendidikan, ada juga sebagian yang hanya menyaksikan sambil memupus harapannya dalam-dalam. Berangkat dari problematika yang ada di atas, sudah barang tentu hal itu memiliki kaitan dengan satu sistem yang mendominasi saat ini. Sistem yang mempengaruhi berbagai macam sektor kehidupan, yakni sistem kapitalisme. Kapitalisme merupakan sebuah modus produksi yang amat buas. Ia tidak segan-segan menerkam siapapun dan apapun yang menghambat sirkulasi kapital. Salah satu sektor yang berhasil dimasuki ialah sektor pendidikan.
Awal mula ekspansi kapitalisme dalam dunia pendidikan dapat kita telusuri sejak ditandatanganinya perjanjian GATT. Orientasinya untuk memuluskan gerak ekspansi perusahaan-perusahaan multinasional MNC, World Bank, dan IMF, dalam rangka menjejakkan kakinya di berbagai negara. Dengan dalih Globalisasi (yang tidak lain adalah wujud lanjutan dari kapitalisme; imperialisme) dan semangat kompetisi, kekuatan-kekuatan ini mencoba untuk mendikte negara agar melepaskan campur tangannya terhadap pasar dan membiarkan individu-individu untuk berkompetisi sebebas mungkin.
Ekspansi kekuatan ekonomi global ini dilakukan demi menjaga produktivitas pertumbuhan kapital, sebagai jalan keluar atas jenuhnya kapital yang tersentral pada negara-negara maju beserta korporasi besarnya, juga sekaligus mencari pasar-pasar baru bagi berlimpahnya produk-produk yang diciptakan. Sebagaimana Marx dan Engels katakan dalam Manifesto Komunis: “Kebutuhan akan pasar yang senantiasa meluas untuk barang-barang hasilnya telah mendorong borjuasi ke seluruh muka bumi. Ia harus bersarang di mana-mana, berusaha di mana-mana, dan membangun hubungan di mana-mana.”
Di Indonesia, ekspansi tersebut terjadi saat Indonesia dilanda krisis 1997 dan penandatanganan Washington Consensus oleh Soeharto. Penandatanganan perjanjian tersebut dapat dilihat sebagai pengesahan atas penjajahan yang dilakukan secara legal formal demi satu tujuan, akumulasi kapital tanpa batas. Sejak saat itu, Indonesia tidak bisa lepas dari dikte IMF dan mesti menjalankan “resep penyembuh sakit” melalui regulasi-regulasi yang tidak lain merupakan bisikan halus IMF, sebagai upaya penjinakan dan pelumpuhan kuasa negara terhadap ekspansi kapital Internasional. Tak lama berselang setelah penandatanganan kesepakatan tersebut, lonceng petaka terdengar dalam dunia pendidikan dengan terbitnya regulasi yang ramah investasi seperti UU Badan Hukum Pendidikan dan UU Penanaman Modal, berlanjut kemudian beberapa Peraturan Presiden (Perpres) yang menjelaskan tentang penanaman modal asing dalam pendidikan dengan persentase kurang lebih 49%. Peraturan Presiden tersebut yakni PP No. 76 tahun 2007 dan PP No. 77 tahun 2007.
Munculnya UU dan Perpres ini, pihak swasta kemudian melenggang masuk bersama kapitalnya dan menjadikan apapun yang bisa dijadikan uang sebagai sarana akumulasi. Patuhnya negara terhadap desakan Internasional tersebut merupakan suatu malapetaka besar bagi kedaulatan dan kemakmuran masyarakat, khususnya bidang pendidikan. Hilangnya perlahan subsidi yang dikeluarkan negara, masyarakat jelas akan kehilangan satu payung perlindungan yang menaunginya. Alih-alih melindungi, sikap yang ditunjukkan negara malah justru jelas mencederai amanah konstitusi untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Semakin mahalnya biaya yang mesti dikeluarkan demi mendapat akses pendidikan, banyak generasi yang mesti memupus mimpinya melanjutkan langkah kakinya menuju gerbang sekolah.
Dominasi sistem kapitalisme dalam pendidikan perlu dibenturkan secara dialektis. Artinya, apabila dominasi sistem tersebut berusaha mereproduksi kekuasaan dominannya, maka tugas yang berseberangan perlu dilakukan untuk melawan dominasi tersebut. Konsekuensi dari komitmen ini adalah mengupayakan sebuah blok baru. Sebuah blok yang mengupayakan pembebasan dan penyadaran kritis dari subjek-subjek pendidikan. Alih-alih demi mengokohkan status quo, peran tandingan ini menjalankan visi yang sama sekali berlawanan dengan visi dan logika kerja kapitalisme. Memaklumi logika dan cara kerja kapitalisme sama halnya dengan memperpanjang barisan kesengsaraan, hal itu sangat mencederai berlangsungnya kehidupan, khususnya bagi masyarakat miskin yang jelas sangat tidak diuntungkan. Artinya, tanpa menciptakan upaya perlawanan dan secara langsung menolak kapitalisme sebagai sebuah sistem, mustahil rasanya memimpikan keselamatan dan kesejahteraan di muka bumi ini, terlebih lagi pendidikan.
Penulis : Ashabul